BUNGKARNO “Namanya Ialah PANCASILA”
Oleh : Irminus Deni
Penulis Adalah Alunmi Universitas Bungkarno Jakarta

Pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno adalah satu-satunya tokoh yang menyampaikan pidato sesuai yang diminta oleh ketua sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai tentang dasarnya Indonesia Merdeka, ”Philosofische grondslag” daripada Indonesia Merdeka. ”Philosofische grondslag” itulah pundamen, filosofi, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat-yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi (Sukarno, 1964:9). Jadi, tidak satu pun pembicara sebelumnya yang menyampaikan tentang Dasar Indonesia Merdeka.
Apakah yang dinamakan merdeka? Pertanyaan ini dijawab sendiri oleh Bung Karno di dalam risalah ”Mencapai Indonesia Merdeka” yang pernah ditulisnya pada tahun 1933, dengan dikatakannya bahwa kemerdekaan, poli- teke onafhankelijheid, political independence, tak lain dan tak bukan ialah jembatan, satu jembatan emas, di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat. Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita. Di daalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan “jembatan”. Di seberang jembatan, jembatan emas, inilah kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia Merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi (Sukarno, 1964:11-15). Philosofische grondslag yang dimaksud oleh Bung Karno adalah Pancasila.
Memang mengingat kejadian-kejadian historis dapat diperbedakan antara beberapa Pancasila, yaitu untuk pertama kalinya istilah Pancasila dipergunakan dalam pidato di BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945, yang kemudian diterbitkan sebagai buku berjudul “Lahir- nya Pancasila”, Bung Karno mengusulkan dasar filsafat, “philosofische grondslag”, “Weltan- schaung”, di atas mana didirikan Negara Indonesia (Sukarno, 1964:19-34).
Dasar filosofis yang pertama, yaitu Kebangsaan Indonesia, diingatkan Bung Karno bukan satu kebangsaan dalam arti yang sempit, melainkan yang ia kehendaki satu ”nationale staat”. Bangsa Indonesia, Nasi Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang yang hidup dengan ”kehendak akan bersatu” di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Jogja, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia- manusia yang, menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah SWT, tinggal di kesatuannya semua pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian. ”Nationale staat” hanya Indonesia seluruhnya, yang telah berdiri di jaman Sri Wijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan bersama- sama.
Di malam sebelum Bung Karno akan berbicara di Badan Penyelidik, ia pergi ke luar rumah, kemudian memandangi bintang-bintang di langit. Ia kagum pada ciptaan yang sempurna itu, dan meratap pelan-pelan. Bung Karno menyampaikan kepada Tuhan: ”Aku menangis karena besok aku akan menghadapi saat bersejarah dalam hidupku. Dan aku memerlukan bantuan-Mu” (Adam, 2007:240). ”Aku tahu, pemikiran yang akan kusampaikan bukanlah milikku. Engkaulah yang membukakannya kepadaku. Hanya Engkaulah yang Maha Pencipta. Engkaulah yang selalu memberi petunjuk pada setiap nafas hidupku. Ya Allah, berikan kembali petunjuk serta ilham-Mu kepadaku” (Adam, 2007:240).
Pada tanggal 1 Juni 1945, di sidang BPUPKI, Bung Karno mengupas kelima muti- ara berharga: Kebangsaan, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Demokrasi, Keadilan Sosial dan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang kemudian dikenal dengan Pancasila. Bung Karno menjelaskan bahwa hari depan bangsa harus berdasar pada Kebangsaan, karena ”orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya” (Adam, 2007:240). Bung Karno menegaskan bahwa, ”jangan mengira, bahwa tiap- tiap negara-merdeka adalah satu nationale staat!”. Kita hanya dua kali mengalami nationale staat, yaitu di Zaman Sriwijaya dan di jaman Majapahit Karena itu, jikalau tuan- tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar Negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia (Sukarno, 1964:22-23).
Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatra, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar atau ”nationale staat”. Memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya. Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvis- me, sehingga berfaham ”Indonesia uber Alles”. Inilah bahayanya kata Sukarno. Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja dari pada dunia! Kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa” (Sukarno, 1964: 23- 24). Di Indonesia, inti sosial sebagai pendorong untuk mencapai keadilan dan kemakmuran. Bukankah itu tujuan baik yang dapat diterima semua orang? Saya bicara tentang seluruh dunia. Masyarakat yang adil dan makmur dapat merupakan cita-cita dan tujuan semua orang (Sukarno, 2000:60-61).
Dasar atau Prinsip filosofis yang nomor dua yang diusulkan oleh Bung Karno adalah ”internasionalisme” atau perikemanusiaan. Internasionalisme yang dimaksud oleh Bung Karno bukanlah kosmopolitisme, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika dan lain-lainnya (Sukarno, 1964:25, 29).
Internasionalisme sama sekali bukan kos- mopolitanisme, yang merupakan penyangkalan terhadap nasionalisme. Internasionalisme yang sejati adalah pernyataan dari nasionalisme yang sejati, yaitu setiap bangsa menghargai dan menjaga hak-hak semua bangsa, baik yang besar maupun yang kecil, yang lama maupun yang baru.
Internasionalisme yang sejati adalah tanda, bahwa suatu bangsa telah menjadi dewasa dan bertanggung jawab, telah meninggalkan sifat kekanak-kanakan mengenai rasa keunggulan nasional atau rasial. Internnasionalisme yang sejati telah meninggalkan penyakit kekanak-kanakan tentang chauvinisme dan kosmo-politanisme (Sukarno, 2000:62-63).
Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme. Jadi dua hal ini bergandengan erat satu sama lain. Kemudian, apakah dasar yang ketiga?
Dasar atau Prinsip filosofis ketiga ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan. Dalam perwakilan nanti ada perjoangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjoangan faham di dalamnya (Sukarno, 1964:25).
Prinsip ketiga ini disebut oleh Bung Karno, demokrasi, dengan menyatakan: Demokrasi bukanlah monopoli atau penemuan dari aturan sosial Barat, melainkan namun demokrasi tampaknya merupakan keadaan asli dari manusia, meskipun diubah untuk disesuaikan dengan kondisi-kondisi sosial yang khusus (Sukarno, 2000:63). Selama berabad-abad negeri Indonesia hidup dengan kebiasaan asli berupa musyawarah dan mufakat. Ini adalah perundingan demokratis model Asia. Sebagai seorang yang meyakini bahwa kekuatan terletak dalam pemerintahan atas perwakilan, Bung Karno berkata, ”Kita tidak akan menjadi negara untuk satu golongan” tetapi ”Semua buat semua, satu buat semua, semua untuk satu” (Adam, 2007:241).
Dasar atau prinsip filosofis keempat menurut Bung Karno, yaitu: “prinsip kese- jahteraan, prinsip tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka. Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Negara-negara Eropa dan Amerika ada Badan Perwakilan, ada demokrasi parlementer. Tetapi di Eropa justru kaum kapitalis meraja lela. Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela? Pada hal ada badan perwakilan rakyat. Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan demokrasi di Barat itu hanyalah ”politieke democratie” saja, sema-mata tidak ada ”sociale rechtsvaardigheid”, – bukan keadilan sosial. Kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni ”po- litiek-economische democratie” yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! ”(Sukarno, 1964:27-28).
Dasar atau prinsip filosofis kelima menurut Bung Karno dikemukakan sebagai berikut : Saya telah mengemukakan empat prinsip: 1, Kebangsaan Indonesia, 2, Internasionalis- me, atau perikemanusiaan, 3, Mufakat, atau demokrasi, 4, Kesejahteraan sosial. Prin- sip yang kelima hendaknya menyusun Indo- nesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip ketuhanan, bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing- masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan Tuhannya sendiri Segenap rakyat hendaknya, ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ”egoisme-agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang ber-Tuhan!
Marilah kita amalkan, jalankan agama, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat – menghormati satu dengan lain. (Tepuk tangan sebagian hadlirin).
Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan bahwa prinsip kelima dari pada negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti luhur, Ketuhanan yang hormat-menghaormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raja, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa (Sukarno, 1964:29-30). Bung Karno, menegaskan, mengingat bangsa Indonesia meliputi orang-orang berbagai macam agama, namun tetap bersatu, kami menempat Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai yang paling utama dalam falsafah hidup kita. Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan karaktersitik bangsa Indonesia (Sukarno, 2000:58-59).
Sesudah mengemukakan lima sila dari Pancasila di atas, Bung Karno selanjutnya menyatakan bahwa: Saudara-saudara! ”Dasar- dasar Negara” telah saya usulkan. Lima bila- ngannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedangkan kita membicara- kan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlah- nya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai Panca Indera. Apa lagi yang lima bilangannya? (Seorang yang hadir: Pendawa lima). Pendawa lima-pun lima. Sekarang banyaknya prinsip kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kese- jahteraan dan ketuhanan lima pula bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa – namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi. (Tepuk tangan riuh). (Sukarno, 1964:30-31).