Dari Lumpur ke Harapan: Pemuda Desa Ngera Tambal Jalan, Pemerintah Harus Tanggap
Pemuda Desa Ngera Tambal Jalan Rusak Sendiri, Masyarakat Tagih Janji Proyek Kotagana–Puu Wada
Keo Tengah Nagekeo Atalomba.com — Kala kemerdekaan sudah hampir satu abad dirayakan di berbagai sudut negeri ini, sebagian masyarakat Indonesia masih terjebak dalam keterasingan, bahkan di kampung halamannya sendiri. Inilah kisah nyata dari Desa Ngera, Kecamatan Keo Tengah, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, sebuah desa yang, dalam pengertian paling dasar, belum merdeka di jalan sendiri.
Beberapa hari terakhir, viral di media sosial foto-foto pemuda Desa Ngera yang bahu-membahu menambal jalan rusak secara swadaya. Mereka mengangkut batu dengan tangan kosong, menggali tanah dengan alat seadanya, dan meratakan jalan penuh lubang agar kendaraan roda dua bisa lewat dengan aman. Padahal, jalan Ngera–Nuasele ini bukan sekadar jalur lokal, tetapi akses utama desa ke wilayah luar.
Yang membuat hati makin miris, jalan tersebut sebenarnya sudah termasuk dalam proyek infrastruktur Pemda Nagekeo, dengan nomenklatur resmi, Ruas Jalan Kotagana–Puu Wada. Proyek ini diluncurkan tahun lalu, bagian dari skema pembangunan konektivitas antarwilayah di NTT.
Pemerintah Kabupaten Nagekeo melalui Dinas PUPR telah mengalokasikan dana sekitar Rp. 13 miliar lebih yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk tahun anggaran 2022, diperutukan untuk ruas jalan Mauponggo–Ngera–Puu Wada. Namun, dari pengamatan lapangan, pengerjaan proyek tersebut baru menyentuh beberapa kilometer di titik awal, sampai Nuasele sedangkan wilayah pertengahan nuasele – Ngera, hingga Puu Wada belum tersentuh sama sekali.
“Kami di Desa Ngera merasa seperti belum masuk dalam peta pembangunan. Dibilang merdeka, tapi kami masih harus gotong royong mengerjakan jalan dengan swadaya. Ini tahun 2025, bukan 1945,” ujar Piter Burago, tokoh pemuda Desa Ngera, kepada media ini 11/06/2025.
Menurut Piter, akibat keterbatasan infrastruktur, warga Desa Ngera harus menanggung harga barang yang jauh lebih tinggi dari pada desa lain. Ongkos angkut melonjak karena kendaraan tidak bisa masuk. Anak-anak sekolah harus berjalan kaki berjam-jam menembus jalan berlumpur. Jika ada orang sakit yang butuh ke Puskesmas atau Rumah Sakit, warga harus memikul dengan tandu darurat sejauh beberapa kilometer. “Kehidupan kami mahal bukan karena gaya hidup, tetapi karena akses jalan yang rusak,” imbuhnya.
Ironisnya, janji pembangunan sudah berkali-kali disuarakan. Dalam Musrenbangdes dan forum koordinasi kecamatan, Desa Ngera selalu mengusulkan perbaikan jalan sebagai kebutuhan utama. Bahkan saat proyek jalan diumumkan pada 2023 lalu, warga sempat berharap besar bahwa masa-masa sulit segera berlalu. Harapan itu kini berubah jadi luka yang tak sembuh.
“Kami tidak anti pemerintah. Tapi kami ingin suara kami didengar. Kalau tak bisa bangun semua, ya bangun sebagian secara merata. Jangan biarkan kami terus-menerus menunggu tanpa kejelasan,” kata tokoh adat yang tidak mau menyebut namanya.
Kondisi geografis Desa Ngera yang berada di perbukitan memang menjadi tantangan tersendiri dalam pembangunan. Namun alasan ini tak bisa menjadi pembenar untuk pembiaran bertahun-tahun. Pemerintah punya kewajiban menghadirkan keadilan pembangunan bagi seluruh warga, termasuk mereka yang tinggal di pelosok.
Data dari Dinas PUPR Nagekeo menyebutkan bahwa paket jalan Mauponggo–Ngera–Puu Wada memang masuk prioritas 2024, namun proses tender dan pelaksanaan fisik masih dalam tahap evaluasi. Sementara itu, masyarakat tak bisa menunggu. Jalan tetap harus dilalui setiap hari demi mengangkut hasil tani, mengakses pendidikan, atau sekadar membeli kebutuhan pokok.
Dari pantauan Atalomba.com, aksi tambal jalan yang dilakukan pemuda dan warga Desa Ngera ini bukan hanya simbol perlawanan, tetapi juga ekspresi cinta terhadap tanah kelahiran. Mereka ingin hidup lebih baik, bukan dengan meminta, tetapi menunjukkan bahwa mereka juga siap berkontribusi. Namun kontribusi rakyat harus dijawab dengan kehadiran negara.
“Kita ini warga negara. Kami bayar pajak, kami ikut Pemilu, kami dukung pembangunan. Tapi giliran infrastruktur dasar, kami diabaikan. Ini menyakitkan,” kata salah seorang, warga Dusun Ngera.
Selain itu, kondisi jalan rusak juga berdampak pada sektor ekonomi desa. Desa Ngera dikenal sebagai penghasil tanaman pertanian, dan ternak. Tapi hasil pertanian ini sulit dijual ke pasar karena biaya angkut sangat tinggi. Para tengkulak mematok harga murah karena sulitnya akses jalan. Akibatnya, ekonomi lokal tidak berkembang.
Tak hanya dari Desa Ngera, aspirasi juga datang dari warga desa tetangga seperti Desa Lewa dan Puu Wada. Mereka turut menyuarakan pentingnya konektivitas antar wilayah, agar pertumbuhan ekonomi tidak terpusat di kota saja.
“Kalau jalan dibiarkan rusak seperti ini, kita tidak akan pernah maju. Infrastruktur itu fondasi pembangunan. Tanpa jalan, tidak ada masa depan untuk desa. Masyarakat berharap, dengan adanya sorotan media dan gerakan solidaritas sosial, pemerintah daerah segera merespons cepat dan melanjutkan pengerjaan jalan hingga tuntas. Mereka tak ingin janji tinggal janji. Mereka ingin pemerintah hadir dengan kerja nyata.
Sebab, di balik setiap jalan yang tertambal oleh tangan-tangan pemuda desa, ada harapan akan Indonesia yang benar-benar merdeka, untuk semua warganya, dari kota hingga dusun terpencil. (AL/Irminus Deni)