Pemekaran Desa: Janji yang Ditinggal Setelah Tarian Adat Usai

Musim Pilkada di Nagekeo adalah musim di mana janji-janji bersemi. Dari kampung ke kampung, para calon pemimpin datang membawa harapan yang dituturkan dalam kalimat-kalimat manis, penuh semangat, dan tak jarang dengan nada penuh empati. Tapi seperti bunga musim semi yang cepat layu, janji-janji itu juga cepat menguap ketika mereka akhirnya duduk di kursi kekuasaan.
Salah satu janji yang terus diulang sejak bertahun-tahun lalu adalah soal pemekaran desa, terutama di wilayah Kecamatan Keo Tengah. Di daerah ini, setidaknya ada tiga desa yang sudah dipersiapkan untuk dimekarkan. Warganya sudah bersusah payah mengadakan pertemuan, mengisi formulir, menyiapkan dokumen, bahkan membangun kantor desa secara swadaya penuh, tanpa bantuan dari pemerintah. Semua dilakukan karena mereka percaya, pemerintah datang dan menyampaikan bahwa syarat utama pemekaran desa adalah keberadaan kantor desa.
Masyarakat percaya. Karena yang bicara bukan orang sembarangan. Pejabat datang dengan pakaian dinas rapi, lambang Korpri menempel gagah di dada, menjadi kebanggaan sekaligus simbol kekuasaan. Bupati datang dengan jas hitam dan dasi merah, lengkap dengan lambang Garuda yang menggantung di dadanya. Mereka datang disambut dengan tarian adat, dikalungi selendang pilihan, dijamu dengan penuh hormat. Wajahnya tegas, nadanya yakin, dan kata-katanya menusuk sanubari rakyat. “Bangun kantor desa segera. Itu syarat utama.”
Masyarakat pun tergoda dengan rayuan itu, karena yang datang para pejabat di kabupaten ini. Mereka percaya, karena yang bicara adalah pemerintah. Maka dimulailah gotong royong. Tiang-tiang didirikan. Dinding-dinding dicat. Dana dikumpulkan dari hasil kebun, dari ternak, dari anak-anak rantau. Semua dilakukan karena percaya janji, bahwa desa mereka akan dimekarkan, bahwa pelayanan akan menjadi lebih dekat, bahwa kemajuan akan segera tiba.
Tapi ternyata, semua itu hanyalah drama politik musiman. Setelah para pejabat pulang dengan langkah gagah dan selendang yang masih menggantung di leher, tidak ada yang kembali. Tidak ada kabar. Tidak ada tindak lanjut. Negara, yang sempat hadir sejenak dalam simbol dan seremonial, menghilang begitu saja.
Sementara itu, di tempat lain, pemerintah menggunakan dana miliaran untuk membangun pasar rakyat yang kini menjadi kandang kambing. Pasar dibangun pakai APBD, diresmikan dengan gegap gempita, lengkap dengan spanduk dan tarian penyambutan. Tapi setelah upacara selesai, pasar itu kosong. Tidak ada pembeli, tidak ada penjual. Tidak ada kebutuhan yang nyata. Hanya proyek yang selesai di atas kertas dan mati di lapangan.
Lalu kita bertanya. Kenapa kantor desa yang dibangun masyarakat sendiri dibiarkan terbengkalai dan tidak diakui negara, sementara bangunan yang dibangun pemerintah dengan uang rakyat malah mubazir?
Apakah ini cermin dari prioritas pembangunan yang salah arah? Pemerintah Kabupaten Nagekeo, terutama Bupati dan Wakil Bupati terpilih, serta para anggota DPRD, harus menjawab pertanyaan ini dengan jujur. Apakah mereka serius ingin membawa pelayanan lebih dekat kepada rakyat? Ataukah mereka hanya sibuk menyusun agenda politik dan menata karier?
Kalau memang serius, di mana perda tentang pemekaran desa itu? Bukankah perda adalah produk DPRD? Bukankah bupati punya hak inisiatif? Beranikah mereka menandatangani pengesahan tiga desa baru di Keo Tengah sebagai bentuk penghormatan atas keringat dan air mata rakyat yang telah membangun kantor desa dengan uang sendiri?
Kalau tidak berani, maka seperti kata orang Kupang:
“Bapak-bapak dong jangan bagaya!”
Jangan keliling kampung bawa janji, tapi lari waktu rakyat minta bukti.
Pemekaran desa bukan soal angka. Ia bukan soal administrasi atau selembar SK. Ia adalah pengakuan terhadap kehendak rakyat. Ia adalah bentuk penghormatan terhadap semangat gotong royong dan keinginan untuk maju. Ketika rakyat membangun kantor desa tanpa APBD, mereka sesungguhnya sedang menyatakan bahwa mereka siap berdiri di atas kaki sendiri.
Pertanyaannya, apakah pemerintah akan berdiri bersama mereka? Mari kita berhenti bicara tentang pembangunan dari menara gading. Mari kita dengar rakyat dari dekat. Mereka tidak minta banyak, hanya janji yang ditepati. Hanya pengakuan terhadap usaha mereka sendiri. Karena kalau pemerintah terus abai, maka rakyat akan belajar bahwa janji politik tidak lebih dari sandiwara musiman.
Lebih dari 15 tahun Kabupaten Nagekeo berdiri sejak dimekarkan dari Kabupaten Ngada. Tapi pemekaran desa, yang semestinya menjadi strategi penting dalam mendekatkan pelayanan, malah dibiarkan mandek. Hingga 2024 akhir, menurut data dari Kemendagri dan BPS, belum ada perkembangan signifikan dalam penambahan jumlah desa di Nagekeo. Sementara kebutuhan akan desa baru makin mendesak, apalagi di daerah dengan sebaran penduduk yang jauh dari pusat pemerintahan.
Kalau pemerintah tidak bisa mengurus hal sesederhana ini, lalu apa sebenarnya yang mereka urus selama bertahun-tahun ini? Waktu terus berjalan. Kantor Desa yang dibangun rakyat mulai lapuk, papan nama mulai pudar, dan harapan mulai melemah. Tapi belum terlambat untuk membuktikan bahwa pemerintah masih berpihak kepada rakyat.
Pemerintah Kabupaten Nagekeo, Anda punya waktu. Anda punya kesempatan untuk membuktikan bahwa jabatan yang Anda pegang bukan sekadar simbol kekuasaan, tetapi alat untuk mewujudkan keadilan sosial di pelosok desa.
DPRD Kabupaten Nagekeo, Anda dipilih bukan untuk diam dan duduk manis. Anda digaji untuk menyuarakan aspirasi rakyat. Kalau ada tiga desa di Keo Tengah yang sudah siap, kenapa tidak segera sahkan melalui perda? Jangan tunggu pemilu baru bertindak. Karena rakyat sudah bangun kantor dengan keringat sendiri. Rakyat sudah berkorban. Sekarang saatnya pemerintah dan DPRD membayar lunas utang janjimu itu.
Irminus Deni
Pemimpin Redaksi Atalomba.com