Ziarah Kevikepan Mbay di Kodidewa Nangaroro, Melangkah Bersama Maria, Menyentuh Luka Bumi

Kodidewa, Nangaroro, Atalomba.com — Kabut pagi belum mengangkat wajah sepenuhnya ketika langkah-langkah para peziarah mulai mengalun dari segala penjuru Kevikepan Mbay. Mereka datang dari arah utara dan selatan, dari lembah dan pantai, dari kota dan pedalaman, dengan satu tujuan, berjumpa di Kodidewa, sebuah tempat sunyi yang menjadi altar semesta dalam ziarah akbar se-Kevikepan Mbay, Keuskupan Agung Ende.
Di bawah tema “Berjalan Bersama Bunda Maria Merawat Bumi”, ribuan umat Katolik dari seluruh paroki, Se-Kevikepan Mbay berhimpun dalam semangat iman dan keprihatinan ekologis. Bukan sekedar ritual tahunan, ziarah ini menjadi seruan batin untuk kembali mendengarkan jeritan alam, yang selama ini nyaris tak terdengar di antara hiruk-pikuknya dunia.
Doa, Langkah, dan Kesadaran dalam prosesi yang hening namun menggugah, umat berjalan sambil mendaraskan Rosario. Para lansia melangkah pelan dengan tongkat iman dan kenangan. Tapi di balik setiap langkah, ada kesadaran baru yang tumbuh, bahwa iman tak hanya ditanam di altar, tapi juga di tanah yang diinjak.

Bunda Maria, dalam devosi umat Katolik, bukan hanya simbol kelembutan. Ia adalah ibu yang menyimpan luka dunia dalam hatinya. Dan, umat pun belajar untuk menyimpan luka bumi dalam hati mereka. Bumi kita sedang luka. Tapi ziarah ini adalah jalan penyembuhan, jalan pengakuan, jalan pertobatan, ungkap Vikep Mbay, RD. Asterius Lado, yang didampingi oleh para Imam Se-Kevikepan Mbay, pada kotbah dalam Misa puncak yang digelar di pelataran Kodidewa yang asri. Lebih lanjut Vikep Mbay manambahkan.
“Dalam tema berjalan bersama Maria merawat bumi, kita sekalian diajak untuk menyusuri jejak bunda Maria, Ibu gereja dan bunda segala ciptaan dalam iman, pengaharapan dan kasih, yang telah dilewati oleh Bunda Maria dalam kesetiaanya kepada kehendak Allah.
Dalam Terang tahun Yubeleum, tahun Kerahiman, kita sekalian dipanggil untuk untuk memperluas makna Belas Kasih dan kerahiman Allah. Kerahiman Allah Bukan hanya soal pengampunan atas dosa, tetapi juga belas kasih terhadap ciptaan tuhan yang kini sedang menderita karena ulah manusia. Mendiang Paus fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si, mengingatkan kita bahwa bumi yang kita diami saat ini sedang mengeluh karena sakit akibat ulah manusia. Tahun kerahiman menjadi kesempatan yang Istimewa bagi kita untuk menunjukkan pertobatan ekologis.
Untuk memaknai kerahiman Tuhan dalam sebuah pertobatan Ekologis, kita putra dan putri Maria yang diberkati perlu menyadari bahwa kita memiliki tanggung jawab untuk merawat bumi. Bumi atau alam semesta bukan hanya sekedar tempat tinggal, melainkan juga ibu kehidupan. Dari tanahnya kita berasal, dari udaranya kita bernafas, dari airnya kita hidup, dari buahnya kita diberi makanan. Di setiap dataran dan perbukitan yang indah, disetiap taman, kebun, sawah dan ladang kita yang asri, dalam setiap aliran Sungai dan deburan ombak dan semua yang kita miliki dalam alam ciptaan ini, semuanya itu adalah karya tangan Sang pencipta bagi kita manusia mahkota ciptaan yang paling agung.
Dalam dan memalui Maria yang mengandung Sang Sabda, Bunda maria mengajak kita untuk melihat dengan mata manusia; melihat dengan mata Kasih bahwa merawat bumi adalah bentuk nyata dari mencintai Tuhan, menghargai kehidupan dan mengasihi sesama.
Namun, apa yang kita saksikan dan dipentaskan kepada kita saat ini, bumi rumah kita sekarang sedang sakit dan terluka. Ada luka di padang, Ketika musim kemarau tiba, padang-padang dan perbukitan menjadi santapan lezat api si jago merah, begitu banyak pohon yang ditebang tanpa menanamnya kembali, sehingga seringkali kita mengeluh kehausan karena kekurangan air.
Bila kita menyusuri jalan-jalan dikampung apa yang kita saksikan banyak hewan dengan berbagai jenis dan bentuk berkeliaran, ada yang liar ada yang sedang membawa kandangnya dengan sepotong kayu di leher, lalu lintas menjadi tidak nyaman, sering terjadi korban kecelakaan dan bahkan hubungan keluarga dan sahabat bisa retak karena-nya, dan bila kita masuk kota, apa yang kita dapatkan, panas dan keringat, sampah dan aroma tidak sedap menjadi hidangan yang tidak dapat kita hindari, semunya itu terjadi karena ulah kita sendiri.
Kita sering buang sampah sesuka hati kita. Semuanya ini terjadi yang kurang sadar akan kebersihan, Kesehatan dan keselamatan lingkungan. Dan Pada saat kini, kita sedang menyaksikan bumi rumah kita sedang di tikam dengan besi-besi tua, bumi tempat adat dan budaya kita hidup, kini mulai tersingkir oleh janji-janji manis yang membawa pilu. Bumi kita tergores sama dengan diri kita terluka. Banyak dari kita dan Sebagian besar penguasa memilih menjadi pejarah bukan penjaga, tutup Vikep Mbay.
Kodidewa Sunyi yang Menyapa. Kodidewa kamis 16/05/2025 tepatnya di Paroki St. Martinus Nangaroro Lingkungan Madambake Kampung Kododewa. bukan sekadar tempat. Ia menjadi tubuh tanah yang bersaksi. Pohon-pohon menyimak doa, angin mengiringi lagu-lagu Maria, dan tanah diam-diam merekam jejak langkah umat yang datang dengan hati terbuka.
Di sinilah spiritualitas ziarah menemukan maknanya yang terdalam. Ketika suara alam mulai menggema dalam jiwa, ketika umat menyadari bahwa alam bukan benda mati, tapi sesama ciptaan yang terluka.
Tak ada acara penanaman pohon. Tapi ada penanaman kesadaran. Tak ada slogan ramah lingkungan. Tapi ada air mata yang jatuh diam-diam, mengalir ke tanah Kodidewa, bukan karena lelah berjalan, tapi karena hati disentuh oleh kehadiran Tuhan dalam keheningan alam.
Ziarah yang Menggerakkan. Ziarah di Kodidewa bukan hanya peristiwa Devosional, tapi juga perayaan iman yang menyatu dengan semesta. Liturgi Ekaristi dirayakan di bawah langit terbuka, seolah langit sendiri menjadi kanopi kudus. Ketika roti dan anggur diangkat, bumi pun seperti mengangguk diam, menerima persembahan cinta dari anak-anaknya.

Pesan ekologis tidak disampaikan lewat spanduk atau brosur. Tapi melalui kata-kata gembala yang jujur dan menusuk. Para Imam berbicara tentang tanggung jawab umat terhadap ciptaan, tentang dosa ekologis yang sering tersembunyi dalam kebiasaan sehari-hari. Jangan hanya berdoa sambil membuang sampah sembarangan. Jangan menyebut nama Tuhan tapi meracuni air sungai. Kalau kita mencintai Maria, cintailah juga bumi ini, rumah yang sama-sama Ia tinggali bersama kita.
Ziarah yang Tak Berakhir di Bukit. Ketika Misa usai dan umat perlahan meninggalkan Kodidewa, tak ada sorak-sorai. Tapi ada kesunyian yang bermakna. Seperti para murid di jalan ke Emaus, umat pulang dengan hati yang terbakar, oleh cinta kepada Maria, dan oleh kerinduan untuk menyembuhkan bumi.
Ziarah ini mungkin hanya sehari. Tapi jejaknya abadi, tidak hanya di tanah Kodidewa, tapi di hati setiap umat yang telah disentuh. Sebab ziarah sejati adalah perjalanan pulang ke dalam kesadaran, bahwa dunia ini bukan warisan, tapi titipan. Dan Bunda Maria, seperti di Kana, seperti di Golgota, kembali berbisik, “Apa yang Dia katakan padamu, lakukanlah.” Termasuk ketika Dia meminta kita: Rawatlah bumi, rumah satu-satunya yang kita miliki. (AL/Irminus Deni)