“Mengejar Energi, Mengabaikan Kehidupan: Ketika NTT Terlalu Sibuk Mencari Panas Bumi”

Di tengah kebisingan proyek besar yang sedang menggeliat di bawah tanah Flores, ada sesuatu yang lebih menggetarkan, lebih membara, dan lebih mendesak—kebisuan kita terhadap nasib anak-anak yang harus menghadapi kenyataan kelulusan yang lebih menyeramkan daripada sekadar ujian akhir sekolah.
Di saat kita semua memperbincangkan proyek geotermal yang mengisi perbincangan meja-meja pemerintahan, ada suara yang seolah-olah tak terdengar, suara anak-anak yang terlantar, yang tak lagi memandang masa depan dengan harapan, tetapi dengan ketakutan akan apa yang akan terjadi pada mereka setelah ijazah mereka di tangan.
Pembangunan energi panas bumi memang penting untuk ekonomi NTT, tetapi apakah itu lebih penting daripada pendidikan yang layak bagi anak-anak kita? Apakah lebih penting menambang energi dari perut bumi yang panas, sementara kita diam menyaksikan betapa rapuhnya masa depan mereka yang baru saja lulus dari sekolah, terjebak dalam perangkap kemiskinan, dan bahkan lebih parah—terjebak dalam jaringan perdagangan manusia yang tidak terdeteksi oleh mata kita yang terpejam oleh ambisi proyek-proyek besar?
Anak-anak yang seharusnya menjadi pemimpin masa depan ini, di musim kelulusan, justru menjadi mangsa empuk para predator kejam yang menjual impian mereka dengan harga yang tak sebanding. Mereka yang lulus dari sekolah dengan harapan akan mendapat pekerjaan yang layak, malah tersedot ke dalam arus gelap yang menghancurkan harapan mereka, di mana perdagangan manusia menjadi pilihan terakhir, meski itu bukan pilihan sama sekali.
Dari daerah-daerah terpencil di NTT, mereka diperdagangkan sebagai barang dagangan, dijanjikan pekerjaan yang jauh dari rumah, tanpa tahu betul ke mana mereka akan dibawa, dan apakah mereka akan kembali dengan selamat.
Namun, kita yang menyaksikan semua ini, sepertinya terlalu sibuk melihat jauh ke bawah tanah, mengejar panas bumi yang konon akan menyelamatkan perekonomian daerah. Kita terbuai oleh janji lapangan pekerjaan dan keuntungan finansial, tetapi apakah kita siap mengabaikan harga yang dibayar oleh anak-anak kita yang menjadi korban ketidak pedulian ini? Apakah kita siap mengatakan bahwa pendidikan bukanlah prioritas utama di tengah proyek geotermal yang begitu megah?
Sebuah pertanyaan besar harus kita jawab dengan hati nurani yang jujur, apakah kita akan membiarkan generasi muda kita terjebak dalam siklus kemiskinan dan eksploitasi hanya karena kita lebih fokus pada keuntungan sesaat daripada masa depan yang lebih cerah bagi mereka? Apakah kita rela melihat mereka pergi dengan harapan yang patah, hanya untuk menjadi korban dari impian-impian palsu yang dijanjikan oleh para pedagang manusia?
Pembangunan harus menyeluruh. Proyek geotermal akan menguntungkan, tetapi itu tidak akan pernah lebih berharga dari kehidupan anak-anak yang kehilangan hak mereka untuk belajar, berkembang, dan bermimpi. Ketika kita memutuskan untuk lebih fokus pada investasi energi, kita juga harus ingat bahwa investasi terbesar yang dapat kita buat adalah pada pendidikan mereka, pada perlindungan mereka, dan pada masa depan mereka. Tanpa itu, pembangunan kita akan terasa hampa, karena tak ada arti sebuah negara maju jika kita membiarkan anak-anak kita tersesat di jalan yang gelap.
Mari bangun NTT, tapi mari pastikan kita membangun masa depan yang lebih baik bagi anak-anak kita. Jangan biarkan mereka menjadi korban kesalahan kita. Jangan biarkan mereka menjadi bayang-bayang dalam proyek-proyek besar yang tak memberi mereka harapan. Kesejahteraan sosial, pendidikan yang layak, dan perlindungan kemanusiaan harus selalu berada di garis depan, karena tanpa itu, semua pembangunan hanya akan menjadi cerita kosong. *Penulis adalah Peraih Hassan Wirayuda Award, Tahun 2022 Kategori Masyarakat Madani.