“Seremoni Menggila, Anak Didik Terlantar: Alarm Keras dari Keo Tengah”

Hardiknas seharusnya menjadi perayaan cahaya pendidikan. Tapi apa jadinya jika lilin-lilin itu malah padam karena tangan-tangan yang seharusnya menyalakannya, sibuk mengurus tenda dan kursi?

Keo Tengah, atalomba.com

Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2025 seharusnya menjadi momen sakral, sebuah panggung kehormatan bagi dunia pendidikan kita. Sebuah hari ketika guru, siswa, dan masyarakat bersatu merayakan pengetahuan, karakter, dan masa depan bangsa. Tetapi apa yang terjadi di Keo Tengah, Kabupaten Nagekeo, justru memperlihatkan ironi yang menyayat hati, panggung pendidikan berubah menjadi panggung seremoni kosong.

SMAN 1 Keo Tengah dan SMAN 2 Keo Tengah, dua sekolah kebanggaan wilayah ini, diberi mandat mulia sebagai tuan rumah. Namun, alih-alih menjadi penggerak pendidikan, banyak guru justru tersedot dalam urusan teknis belaka, mendekorasi tenda, mengatur kursi tamu, mengurusi konsumsi, bahkan menjadi panitia registrasi.

Di balik gemerlap bendera dan tabuhan drum, tersembunyi potret yang memilukan: siswa-siswa yang datang untuk berlaga dalam lomba, berdiri tanpa bimbingan. Mereka kebingungan, gelisah, berusaha dan menanti para Guru untuk mendapatkan bimgingan. Mata mereka mencari-cari figur pendamping yang seharusnya ada di samping mereka — guru mereka. Tapi yang mereka temukan hanyalah tangan-tangan guru yang sibuk merapikan pita panggung dan mengejar waktu untuk memenuhi daftar acara. Inikah potret pendidikan kita? Inikah wajah pendidikan yang ingin kita tunjukkan kepada anak-anak kita?

Hardiknas bukanlah sekadar pesta rakyat. Ia adalah refleksi nilai. Ketika dalam momen seagung ini, peran guru dikerdilkan menjadi sekadar tukang dekorasi dan pelaksana teknis, maka kita sedang menanamkan nilai yang sangat salah kepada generasi muda, bahwa formalitas lebih penting daripada esensi, bahwa tampilan luar lebih utama daripada isi hati.

Kita sedang mengajari anak-anak kita bahwa dalam dunia dewasa, kepentingan seremonial lebih berharga daripada kepentingan mereka sendiri. Bahwa dalam dunia nyata, pembinaan jiwa kalah penting dibanding pengaturan konsumsi tamu VIP. Apakah ini pendidikan yang kita impikan?

Lebih mengerikan lagi, jika budaya ini dibiarkan berlarut, kita sedang menyiapkan generasi penerus bangsa yang berpikiran dangkal, lebih menghargai panggung palsu daripada proses sejati.
Mereka akan tumbuh menjadi manusia-manusia yang lihai dalam seremoni, namun rapuh dalam nilai, pandai bicara namun miskin jiwa.

Saatnya kita berbenah, atau kita akan menuai generasi yang hilang arah. Model pengelolaan acara pendidikan harus dirombak total. Guru harus dikembalikan ke tempat terhormatnya, sebagai pendamping ruhani siswa, pembina karakter, pelatih keberanian, bukan sekadar tangan teknis acara.
Guru harus menjadi Steering Committee (SC) yang berpikir tentang konsep, nilai, dan pendampingan siswa secara emosional dan moral.

Sementara itu, semua urusan teknis — mulai dari konsumsi hingga dekorasi — harus diserahkan kepada Organizing Committee (OC) yang melibatkan Komite Sekolah, Pemerintah Desa, dan masyarakat lokal. Mereka yang mengurus logistik sampai menyiapkan tempat acara, agar guru bisa fokus mengurus jiwa. Dengan model ini, kita bukan hanya memperlancar acara. Kita sedang mengajarkan nilai sejati, bahwa pendidikan adalah membimbing manusia, bukan menghias panggung.

Hardiknas bukan soal spanduk, bukan soal pesta. Ia adalah tentang menyalakan api dalam jiwa anak-anak kita. Kalau kita biarkan guru terus terjerumus dalam seremoni, maka siap-siaplah melihat dunia di mana anak-anak tumbuh tanpa kompas, tanpa arah. Dunia di mana pendidikan hanya tinggal slogan, dan karakter hanya tinggal cerita dalam pidato-pidato kosong.

Mari belajar dari Keo Tengah. Bukan untuk mencari kambing hitam, tetapi untuk menyelamatkan masa depan. Karena kalau bukan kita yang berubah, maka jangan salahkan siapa-siapa ketika yang kita temui di kemudian hari hanyalah reruntuhan harapan.

“Selamat Hardiknas. Mari kita kembalikan guru ke jalurnya — sebagai penuntun, bukan panitia dekorasi. Jika tidak, maka bersiaplah menyambut masa depan yang kehilangan jiwa.” (Penulis adalah Pemimpin Redaksi Atalomba.com)

Bagikan