Warisan Rohani Mgr. Heinrich Leven, SVD, Hambah Allah. Kepada Congregatio Imitationis Jesu (CIJ) yang didirikannya
![](https://atalomba.com/wp-content/uploads/2025/02/tri-sulung-2-1024x581.jpg)
Kongregasi Pengikut Yesus mendapat warisan rohani yang sangat berharga dari Bapa Pendiri, Mgr. Heinrich Leven, SVD yang tercakup dalam tiga ungkapan iman yang telah dihayatinya dengan sungguh-sungguh dalam hidupnya.
Warisan pertama berasal dari mottonya ketika ditahbiskan menjadi Uskup di Uden, Negeri Belanda, tanggal 12 November 1933 untuk menjabat tugas sebagai Vikaris Apostolik Kepulauan Sunda Kecil, dengan motto “O Crux Aye, Spes Unica” (Salam O Salib, Harapan Satu-satunya). Semboyan ini diambil dari bait keenam madah Vesper Pekan Suci dalam brevir Bahasa Latin yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
O Crux Aye, Spes Unica! Hoc Passion Is Tempore Pus Adauge Gratiam Reisque Dele Criinina.
(Salam O Salib, Harapan Esa Dalam Masa Sengsara ini Yang Saleh Mohon Dirahmati Yang Salah Mohon Diampuni).
Dalam madah ini dinyatakan pengakuan iman bahwa Salib adalah harapan satu satunya baik untuk “yang saleh” maupun “yang salah”, karena kita semua mendapat rahmat pengampunan berkat Dia Yang Tersalibkan, yang mengubah palang salib tanda hukuman. yang paling keji menjadi lambang penebusan dan belaskasih. Kita ingat bagaimana Yesus di salib mengampuni penjahat yang bertobat dengan kelimpahan belaskasih yang tiada tara.
“Hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku dalam Firdaus” (Luk. 23: 43). Maka pusat perhatian kita bukanlah palang salib itu, melainkan pada Dia Yang Tersalibkan, yang sesudah bangkit dari alam maut menunjukkan bekas luka pada tangan, kaki dan lambungNya sebagai meterai penebusan. “Ave Crucfixus, Spes Unica“, “Salam Yang Tersalibkan, Harapan Satu-satunya”.
Berdasarkan warisan rohani inilah Kongrasi Pengikut Yesus/Congregatio Imitationis Jesu (CIJ) memilih Spiritualitas Salib sebagai Semangat Dasar tarekat.
Warisan kedua berasal dan satu pengalaman pribadi Mgr. Henricus Leven, SVD setelah menerima tahbisan Uskup, beliau berziarah ke Roma. Ketika berada di Koloseum, tempat di mana ribuan martir kristiani dibunuh pada abad-abad pertama, beliau tertegun memikirkan nama-nama para martir itu, laki-laki dan perempuan, orang tua dan anak-anak, memperoleh kekuatan dan keberanian yang sangat luar biasa untuk mempersembahkan hidup mereka.
Suara para martir itu menjawab dengan lantang: “Caritas Christi urget nos”. Kutipan dari surat Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus, dalam terjemahan Alkitab Indonesia berbunyi: “Kasih Kristus menguasai Kami” (2 Kor. 5:14). Tetapi bisa juga diterjemahkan: “Kasih Kristus mendorong Kami”.
Selanjutkan “Caritas Christi” dapat diterjemahkan atas dua cara: “Kasih (dan) Kristus” dan “Kasih akan Kristus “. Kedua aspek ini hadir dalam pengalaman kristiani, khususnya dalam hidup membiara para suster Congregatio Imitationis Jesu (CIJ).
Pada mulanya kasih ilahi itu datang dan Kristus yang menguasai kita. Kasih ilahi itu menyalakan hati kita, sehingga akhirnya kasih akan Kristus mendorong kita untuk membalas cinta Tuhan dengan mempersembahkan seluruh hidup kepadanya.
Itulah yang telah dibuat oleh para martir di Koloseum. Itu juga yang telah dilakukan oleh Bapa Pendiri Congregatio Imitationis Jesu (CIJ) Mgr. Heinrich Leven, SVD dan ribuan Misionaris yang telah datang ke pulau-pulau di Nusantara ini. Warisan rohani itu pula yang diharapkan menjiwai hidup dan pengabdian para suster CIJ sampai hari ini.
Warisan ketiga ialah kepercayaannya teguh pada penyelenggaraan ilahi, yang dinyatakannya dalam ungkapan “Deus Providebit” (Allah Menyelenggarakan). Mgr. Henricus Leven, SVD memimpin umat di Kepulauan Sunda Kecil dalam masa yang sangat sulit, yaitu Zaman Malaise antara dua Perang Dunia hingga ditahun-tahun awal kemerdekaan Indonesia (1933-1951).
Dalam situasi yang sangat berat itu beliau bekerja melayani umat sekuat tenaga sambil berharap pada penyelenggaraan Ilahi. Sikap ini temyata sangat mempengaruhi suster-suster muda dan generasi pertama.
Sesudah mendirikan Kongregasi Pengikut Yesus/Congregatio Imitationis Jesu (CIJ) pada tanggal 25 Maret 1935 di Jopu, Wolowaru Ende Flores NTT dan menerima secara resmi 9 Novis angkatan pertama di tahun yang sama, beliau menyadari bahwa bantuan dan Eropa untuk biara muda ini sulit diharapkan di tengah zaman malaise.
Darimana mereka bisa hidup? Bagaimana membiayai proses pendidikan dan pembinaan suster-suster muda ini? Uskup Mgr. Heinrich Leven, SVD memanggil Sr. Xaver dan berdiskusi dengan Magistra Novis ini apakah kelangsungan biara ini ditunda sementara waktu sampai situasi kondusif. Sr. Xaver dan para novis membuat novena dan menemukan sebuah jalan keluar. Mereka menyampaikan kepada Bapa Pendiri Mgr. Heinrich Leven, SVD bahwa mereka sanggup mengurus biaya makan minum setiap hari dengan cara mereka akan bekerja.
Untuk itu mereka pergi kepada kepala kampung dan mosalaki Jopu untuk minta tanah di mana mereka bisa kerja kebun. Lalu P. Suntrup SVD, Pastor Paroki Jopu yang juga moderator CIJ, minta umat membawa benih untuk diberkati pada musim tanam. Benih itu sebagiannya diberikan untuk kebun para suster. P. Suntrup, SVD juga minta umat untuk membantu para suster dengan hasil ladang mereka setelah mereka panen.
Ternyata di tahun-tahun itu hasil ladang melimpah ruah dan para suster bisa hidup dari hasil kerja sendiri dan dukungan umat Jopu. Atas cara ini para suster generasi pertama dilatih untuk menghayati secara nyata kemiskinan dan kesederhaan dalam kerja sama dengan umat setempat. Deus Providebit!. (AL/ID)